ANALISIS TAFSIR AL-KASYSYAF
KARANGAN IMAM AZ-ZAMAKHSYARI
Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Bahtsul
Kutub
Dosen Pengampu :
Muhammad Dzofir,
M.Ag
![]() |
Oleh Kelompok 2
(K-PAI) :
1.
Anis Maghfiroh (1510110397)
2.
Izza Zulfa Chulaela (1510110402)
3.
Muhamad Abi Ya’sub (1510110405)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI KUDUS
2017
A. PENDAHULUAN
Salah satu hal yang sangat dibanggakan umat Islam dari
dulu hingga saat ini adalah otentisitas Al-Qur’an yang merupakan warisan
intelektual Islam terpenting dan paling berharga. Dari dulu hingga saat ini,
Al-Qur’an tetap utuh dan sama. Hal yang membedakan adalah cara membaca dan
menafsirkannya. Cara membaca Al-Qur’an umumnya dibahas panjang lebar dalam ilmu
qira’at sedang rambu-rambu menafsirkan Al-Qur’an dikenal dengan ilmu
tafsir. Dalam khazanah tafsir, banyak sekali mufassir yang telah menghasilkan karya dengan corak,
gaya, maupun metode penafsiran yang satu sama lain tidaklah sama. Secara garis
besar, metode utama dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah tahlili, ijmali,
muqaran dan madhu’i.
Al-Kasysyaf karya
Az-Zamakhsyari memang tergolong salah satu kitab tafsir yang cukup populer. Sedikitnya, ada dua hal yang menyebabkan kitab tersebut
termasyhur. Pertama adalah melimpahnya analisis bahasa dalam penafsiran sedang
kedua adalah afiliasi penulisnya dengan madzhab Mu’tazilah. Secara umum Al-Kasysyaf
dianggap sebagai tafsir tahlili yang
bercorak ra’yi karena kuatnya analisis logika didalamnya.
B. BIOGRAFI AZ-ZAMAKHSYARI
Az-Zamakhsyari
atau nama lengkapnya Abu al Qasim Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Umar al
Khawarizmi az-Zamakhsyari lahir di Zamakhsyari pada tanggal 27 Rajab 467 H.[1]
Beliau berasal dari keluarga miskin dan taat beragama. Menjelang usia remaja
beliau pergi meninggalkan desanya untuk menuntut ilmu ke Bukhara, sebuah pusat
ilmu pengetahuan terkemuka pada saat itu. Baru beberapa tahun belajar, beliau
terpaksa pulang karena ayahnya meninggal dunia. Kemudian az-Zamakhsyari
bermukim di Khawarizm dan berguru kepada Abu Mudlar, lengkapnya adalah Mahmud
bin Jarir Ad-Daabi al-Isfahani Abu Mudlar an-Nahawi, seorang tokoh Mu’tazilah
yang menguasai berbagai disiplin ilmu.[2]
Dibawah bimbingan Abu Mudlar az-Zamakhsari berhasil menguasai sastra Arab,
logika, filsafat, teologi. Beliau menjadi salah satu ulama yang disegani dan
menempati posisi yang cukup tinggi dalam bidang pemerintahan.
Pada
tahun 526 H hingga tahun 529 H Zamakhsyari berada di Makkah dan berhasil
mengarang sebuah kitab tafsir “Al-Kasysyaf”.[3] Di
kalangan ulama az-Zamakhsyari dikenal sebagai orang yang sangat luas ilmu dan
wawasannya serta ahli dalam munazarah (berdiskusi). Hal ini terlihat dari
banyaknya orang yang datang menuntut ilmu dan berdiskusi kepadanya. Kehebatan
az-Zamakhsyari juga diakui oleh para ulama generasi berikutnya di samping juga
banyak kritikan yang ditujukan kepadanya. Beliau wafat pada tanggal 9 Zulhijjah
538 H di Desa Jurjaniah.[4]
Az-Zamakhsyari
termasuk ulama yang cukup produktif dalam menghasilkan karya tulisan. Ini
terlihat dari banyaknya karya yang telah beliau hasilkan, diantaranya: al-Mufrad
wa al-Muallaf fi al-Nahwi, al-Namuzaj fi al-Nahwi, al-Mustasqa fi Amtsal
al-‘Arab, al-Mufassal fi al-Rahwi, al-Minhaj fi Ushul, Rus al-Masail
al-Fiqhiyah, al-Faiq fi Tafsir al-Hadist , dan sebagianya. Dari sekian
banyak karyanya, tafsir al-Kasysyaf adalah karyanya yang sangat
monumental.
C. DESKRIPSI KITAB
a. Latar Belakang Munculnya Kitab Al-Kasysyaf
Adalah Az-Zamakhsyari seorang ulama jenius yang sangat mumpuni
dalam bidang gramatika bahasa Arab (Ilmu Nahwu), Sastra dan Tafsir. Pendapat-pendapatnya
tentang ilmu nahwu diakui dan menjadi rujukan penting para bakar bahasa, karena
dianggapnya kritis dan orisinil.[5]
Dalam teologi, dia penganut paham Mu’tazilah. Dalam bidang fiqih
bermadzhab Hanafi. Untuk mendukung “mu’tazilaisme”-nya, ia menyusun kitab
tafsirnya yang besar itu. Disamping itu, kitab tersebut sebagai bukti akan
kecerdasan, dan kepakarannya. Dalam pembelaannya terhadap madzhab itu, ia mampu
mengungkap isyarat-isyarat ayat secara dalam dan jauh. Hal itu dilakukan dalam
rangka menghadapi lawan-lawan polemiknya. Tetapi dalam aspek kebahasaan ia
berjasa menyingkap keindahan Al-Qur’an dan daya tarik balaghahnya. Yang
demikian karena ia mempunyai pengetahuan luas tentang ilmu balaghah, ilmu
bayan, sastra, nahwu dan tashrif. Sebab itulah Az-Zamakhsyari menjadi rujukan
kebahasaan yang kaya. Didalam mukaddimah tafsirnya, ia mengindikasikan hal
tersebut. Menurutnya, orang yang menaruh perhatian terhadap tafsir tidak akan
dapat menyelami hakikatnya sedikitpun kecuali jika ia telah menguasai betul dua
ilmu khusus Al-Qur’an, yaitu Ilmu Ma’ani dan Ilmu Bayan yang
didorong oleh cita-cita luhur demi memahami kelembutan hujjah Allah serta
Mu’jizat Rasul-Nya. Disamping itu semua, ia sudah memiliki bekal cukup dalam
disiplin ilmu-ilmu yang lain dan mampu melakukan dua hal: penelitian dan
pemeliharaan, banyak menelaah, sering berlatih, lama merujuk dan akhirnya
menjadi rujukan. Namun demikian ia tetap memiliki perilaku sederhana dan
kreativitas yang mandiri.
Menurut Ibnu Khaldun, Tafsir Al-Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari tersebut, dalam hal
bahasa, I’rab dan balaghahnya, termasuk diantara kitab tafsir paling baik.
Hanya saja penulisnya termasuk pengikut fanatik aliran Mu’tazilah. Karena itu
ia selalu memberikan argumentasi-argumentasi yang dapat membela madzhabnya yang
menyimpang setiap kali menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dari segi balaghahnya.
Cara demikian bagi para peneliti Ahlussunnah Waljama’ah dipandang sebagai
penyimpangan. Sedangkan menurut jumhur merupakan manipulasi terhadap rahasia
dan kedudukan Al-Qur’an. Namun secara obyektif mereka tetap mengakui
kepakarannya dalam bahasa dan balaghahnya. Tetapi jika orang yang membacanya
tetap berpijak pada madzhab Sunni dan menguasai hujjah-hujjahnya, tentu ia akan
selamat dari perangkap-perangkapnya. Bagaimanapun kitab tersebut perlu dibaca
mengingat keindahan dan keunikan seni bahasa yang disajikannya.
Dewasa ini telah sampai kepada kita sebuah kitab karya seorang
Irak, penduduk Tauriz-‘Ajam, Syafruddin At-Thayyibi. Dalam kitab tersebut, ia
mengungkap isi kitab Az-Zamakhsyari, meneliti lafazh-lafazhnya, paham
kepalsuannya, juga menjelaskan bahwa aspek balaghanya itu hanya terletak pada
ayat menurut pandangan Ahlussunnah, bukan menurut pandangan Mu’tazilah.
Bagaimanapun ia telah berbuat baik dalam hal tersebut sesuai dengan
kemampuannya, demikian pula dalam seni-seni balagahnya. Tidak dapat dipungkiri
bahwa diatas orang pandai masih ada yang pandai.[6]
b. Karakteristik Tafsir al-Kasysyaf
Kitab tafsir al-Kasysyaf
atau lengkapnya al-Kasysyaf an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun, al-Aqawil fi Wujub
at-Ta’mil (Penyingkap Tabir Hakikat Wahyu dan Mata Air Hikmah dalam Aneka
penta’wilan) diselesaikan oleh Az-Zamakhsyari dalam waktu relatif singkat yakni
3 tahun Kitab tafsir dari 4 jilid.
Dalam Mukaddimah
Tafsir al-Kasysyaf az-Zamakhsyari mengungkapkan latar belakang penulisan
kitab tafsir ini. Ada beberapa faktor yang melatar belakanginya, diantaranya.
Pertama, semakin banyakanya permintaan agar beliau menulis sebuah kitab tafsir,
kedua, antusias masyarakat yang begitu besar untyk mengetahui apa, yang beliau
jelaskan sekitar ayat-ayat Al-Qur’an.[7]
Sehingga kalau kita cermati tafsir ini, al-Kasysyaf, nampaknya juga tidak lepas
dari kondisi yang melatar belakanginya. Kasysyaf secara etimologi berarti
penyingkap atau pembuka ini berarti bahwa tafsirnya sengaja ditulis dengan
maksud untuk menyingkap rahasia-rahasia makna dan pengertian al-Qur’an yang
banyak, ditanyakan oleh umat pada masa itu.
Latar belakang
az-Zamakhsyari sebagai seorang pakar bahasa. Arab memiliki pengaruh yang sangat
besar dalam penulisan kitab tafsir ini. Dalam penafsirannya az-Zamakhsyari
menggunakan pendekatan bahasa, sehingga Kitab Tafsir al-Kasysyaf ini
memiliki satu corak yang sangat kental, yakni corak lughowi (bahasa).[8]
Disamping kapasitas keilmuan az-Zamakhsyari dan bidang bahasa sastra Arab,
faktor lain yang menyebabkan al-Kasysyaf disusun dengan corak bahasa
adalah minat penduduk Masyriq kepada kesustraan Arab lebih besar
dibandingakan dengan penduduk Maghrib.[9]
Selain itu
karakteristik lain yang menonjol dalam tafsir al-Kasysyaf adalah adanya
kecenderungan pada paham mu’tazilah. Hal ini terlihat pada pengklasifikasian
ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat. Pada prinsipnya
masing-masing penganut paham teologi mengklaim ayat-ayat yang sesuai dengan
madzabnya sebagai ayat muhkamat, sedangkan ayat yang sesuai dengan mahdzab
lainnya diklaim sebagai ayat muhkamat yang mereka maksud. Demikian halnya dalam
Tafsir al-Kasysyaf.[10]
Setelah menjelaskan makna ayat muhkamat dan mutasyabihat pada
ayat 7 surat Ali Imran.
Kemudian
menyebutkan surat al-An’am ayat 107 sebagai ayat muhkamat dan surat al-Qiyamah
ayat 23 sebagai ayat mutasyabihat. Dengan kemahirannya dalam bidang
bahasa dan sastra Arab, az-Zamakhsyari mengambil kesimpulan arti bahwa kata نظر dalam ayat kedua (surat al-Qiyamah ayat
21) berarti الرجاء / التوقع yang artinya menanti.
Dalam penfsiran
ayat-ayat tentang fikih, az-Zamakhsyari berusaha untuk bersikap netral
sebagaimana terlihat pada penafsiran surat, al-Maidah ayat 6.
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#rã£g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3Ï÷r&ur çm÷YÏiB 4 $tB ßÌã ª!$# @yèôfuÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ßÌã öNä.tÎdgsÜãÏ9 §NÏGãÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 crãä3ô±n@ ÇÏÈ
Khususnya
mengenai lafadz وامسحوا برءوسكم didalam
az-Zamakhsyari, Zamakhsyari mengemukakan perbedaan pendapat yang terjadi antara
mazhab imam Syafi’i, imam Maliki dan Hanafi. Az-Zamakhsyari tidak membela salah
satu pendapat tetapi menyatakan bahwa mengusap salah satu bagian dari kepala
atau keseluruhan kepala memiliki pengertian yang sama. Karena keduanya sama
meletakkan tangan di atas kepala dengan satu tujuan yang sama yakni mengusap
kepala. Kesimpulannya ini diambil dari pernyataan :
[واَمْسَحُوْابِرُءُوسِكُمْ ] اَلمُراَدُ اِلْصاَقُ الْمَسْحِ باِلرَاءْسِ ومَسْحُ بَعْضِهِ ومُسْتَوعِبِهِ باِلمَسحِ كلاَهماَمُلصِقُ لِلمَسحِ باِلرَّاءْسِ .[11]
c. Metode dan Corak Penafsiran
Metode
penafsiran yang digunakan oleh al-Zamakhsyari dalam tafsir ayat al-Kasysyaf
adalah metode tahlili, yakni menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat dan
surat demi surat secara berurutan sesuai dengan tertib susunan ayat dan surat
dalam mushaf Utsmany.[12]
Untuk itu, pengkajian metode ini kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang
dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat
di istinbathkan dari ayat, serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan
relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya. Untuk itu, ia merujuk kepada
sebab-sebab turun ayat, hadist-hadist Rasulullah SAW, dan riwayat dari para
sahabat dan tabi’in.
Metode tahili
adalah metode yang dipergunakan kebanyakan ulama pada masa-masa dahulu. Akan
tetapi, diantara mereka ada yang mengemukakan kesemua hal tersebut diatas
dengan panjang lebar (ithnab), ada yang dengan singkat (i’jaz), dan
ada pula yang mengambil langkah pertengahan (musawah). Mereka sama-sama
menafsirkan al-Qur’an dengan metode tahlili, tetapi dengan corak yang berbeda.
Para ulama
membagi wujud tafsir al-Qur’an dengan metode tahlili kepada tujuh macam, yaitu
: Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, Tafsir Shufi, Tafsir Falsafi,
Tafsir Fiqhi, Tafsir ‘ilmi, dan Tafsir Adabi.[13]
Adapun
corak dari sebagian besar penafsirannya berorientasikan kepada rasio (ra’yu),
maka tafsir Al-Kasysyaf dapat dikategorikan pada tafsir bi Al-Ra’yi meskipun
pada beberapa penafsirannya menggunakan dalil naql (Nash Al-Qur’an dan hadist).[14]
·
Contoh
penafsiran dalam tafsir al-Kasysyaf
Contoh bentuk
penafsiran bi al-ra’yi dengan metode tahlili dalam tafsir al-Kasysyaf dapat
dilihat pada penafsiran QS. Al-Baqarah ayat 115.
¬!ur ä-Ìô±pRùQ$# Ü>ÌøópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷r'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 cÎ) ©!$# ììźur ÒOÎ=tæ ÇÊÊÎÈ
“Dan
kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
¬!urä-Ìô±pRùQ$#Ü>ÌøópRùQ$#ur menurut al-Zamakhsyari
maksudnya adalah Timur dan Barat dan seluruh penjuru bumi, semuanya kepunyaan
Allah. Dia yang memiliki dan menguasai seluruh alam.
(#q9uqè?$yJuZ÷r'sù maksudnya ke arah
manapun manusia menghadap Allah hendaknya menghadap qiblat sesuai dengan firman
Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 144 yang berbunyi :
ôs% 3ttR |==s)s? y7Îgô_ur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ( y7¨YuÏj9uqãYn=sù \'s#ö7Ï% $yg9|Êös? 4 ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ß]øymur $tB óOçFZä. (#q9uqsù öNä3ydqã_ãr ¼çntôÜx© 3 ¨bÎ)ur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# tbqßJn=÷èus9 çm¯Rr& ,ysø9$# `ÏB öNÎgÎn/§ 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷èt ÇÊÍÍÈ
“Sungguh Kami (sering)
melihat mukamu menengadah ke langit[96], Maka sungguh Kami akan memalingkan
kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan
dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya
orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang
mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya;
dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”
«!$#çmô_ur§NsVsù menurut al-Zamakhsyari
maksudnya di tempat (Masjidil Haram) itu ada Allah yaitu tempat yang
disenangi-Nya dan manusia diperintah untuk menghadap Allah pada tempat
tersebut. Maksud ayat tersebut adalah apabila seorang muslim akan melakukan
shalat dengan menghadap Masjidil Haram dan Baitul Maqdis, akan tetapi ia ragu
akan arah yang tepat untuk menghadap ke arah tersebut, maka Allah memberikan
kemudahan kepadanya untuk menghadap ke arah manapun dalam shalat dan di tempat
manapun sehingga ia tidak terikat oleh lokasi apapun.
Latar
belakang turunnya ayat ini menurut Ibnu Umar berkenaan dengan shalat musafir di
atas kendaraan, ia menghadap ke arah mana kendaraanya menghadap. Tetapi menurut
‘Ata ayat ini turun ketika tidak diketahui arah qiblat shalat oleh suatu kaum,
lalu mereka shalat ke arah berbeda-beda. setelah pagi hari ternyata mereka
salah menghadap kiblat, kemudian mereka menyampaiakan peristiwa tersebut kepada
Nabi (lalu turunlah ayat ini). Kemudian ada yang berpendapat bahwa kebolehan
berdo’a menghadap arah mana saja, bukan dalam shalat.
Dari
contoh penafsiran di atas tampak bahwa al-Zamakhsyari memulai penafsirannya
dengan mengemukakan pemikirannya secara rasional lalu dikuatkan dengan ayat
lain yang berkaitan dan setelah itu mengemukakan riwayat atau pendapat ulama.
Jadi al-Zamakhsyari disamping menggunaka akalnya juga menggunakan riwayat naql
sebagai penguat atas penafsirannya[15].
d. Penilaian Terhadap Tafsir al-Kasysyaf
Di kalangan para ulama, tafsir al-Kasysyaf sangat
terkenal karena kepiawaian al-Zamakhsyari dalam mengungkap kemukjizatan
al-Qur’an, terutama mengenai keindahan balaghahnya. Mereka bahkan mengatakan
bahwa tafsir inilah yang pertama kali menyingkap kemukjizatan al-Qur’an secara
sempurna. Di samping kelebihan tafsir al-Kasysyaf juga memiliki kelemahan dan
kekurangan. Berikut penilaian terhadap tafsir al-Kasysyaf.
a. Imam
Busykul
Tafsir al-Zamakhsyari lebih ringkas dan lebih
mendalam. Zamakhsyari sering menggunakan kata-kata yang sukar dan banyak
menggunkan syair, sehingga mempersulit pembaca untuk memahaminya, dan sering
menyerang madzhab lain. Hal ini karena ia berusaha membela madzhabnya, madzhab
mu’tazilah.
b. Haidar
al-Harawi
Tafsir al-Kasysyaf merupakan tafsir yang sangat
tinggi nilainya. Tafsir-tafsir sesudahnya, menurut Haidar tiada satupun yang
menandingi baik dalam keindahan maupun kedalamannya. Namun tafsir al-Kasysyaf
juga memiliki kekurangan.
1) Sering
melakukan penyimpangan makna lafadz tanpa dipikirkan secara mendalam dan
menafsirkan ayat dengan panjang lebar, seakan-akan untuk menutupi kekurangannya,
serta penuh dengan pemikiran mu’tazilah.
2) Terlalu
banyak menghadirkan syair-syair dan peribahasa yang penuh dengan kejenakaan,
yang jauh dari tuntunan syariat.
3) Sering
menyebut Ahlu Sunnah wal Jama’ah dengan sebutan yang tidak sopan bahkan
kadang-kadang mengkafirkan.[16]
c. Ibnu
Kaldun
Ibnu Kaldun mengatakan bahwa di antara tafsir yang
paling baik dan paling mampu mengungkapkan makna al-Qur’an dengan pendekatan
bahasa dan balaghah adalah tafsir al-Kasysyaf. Hanya saja
penyusunnya bermadzhab mu’tazilah. Dengan balaghah beliau membela
madzhabnya dalam menafsirkan al-Qur’an.
Menurut Ibnu Kaldun, kitab al-Kasysyaf karangan
Zamakhsyari ini disamping hadits hendaklah menjadi kitab pegangan bagi
orang-orang yang akan menyususn tafsir dalam mendalami bahasa, i’rab dan
balaghah. Untuk meningkatkan ilmu yang dipergunakan dalam menafsirkan
al-Qur’an. Orang yang menulis kitab al-Kasysyaf ini adalah seorang ahli bahasa
yang terpandai di Irak. Selain dari itu yang menyususn kitab ini berbau
mu’tazilah dalam segi aqidah. Inilah yang dijadikan hujjah bagi madzhabnya yang
telah rusak itu. Karena dia menerangkan ayat-ayat al-Qur’an itu dengan
cara-cara balaghah. Dengan demikian maka dengan diam-diam dia relah menyimpang
dari madzhabnya yang kini telah memasuki ahli sunah.[17]
D.
PENUTUP
Kitab
tafsir al-Kasysyaf merupakan kitab karangan dari Az-Zamakhsyari. Dimana penafsirannya
menggunakan pendekatan bahasa, sehingga Kitab Tafsir al-Kasysyaf ini
memiliki satu karakteristik yang sangat kental, yakni corak lughowi (bahasa).
Adapun metode
penafsiran yang digunakan oleh al-Zamakhsyari dalam tafsir ayat al-Kasysyaf
adalah metode tahlili, yakni menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat dan
surat demi surat secara berurutan sesuai dengan tertib susunan ayat dan surat
dalam mushaf Utsmany.
Adapun corak
dari sebagian besar penafsirannya berorientasikan kepada rasio (ra’yu), maka
tafsir Al-Kasysyaf dapat dikategorikan pada tafsir bi Al-Ra’yi meskipun pada
beberapa penafsirannya menggunakan dalil naql (Nash Al-Qur’an dan hadist).
Contoh bentuk penafsiran bi al-ra’yi dengan metode tahlili dalam tafsir
al-Kasysyaf dapat dilihat pada penafsiran QS. Al-Baqarah ayat 115.
Ada tiga penilaian ulama terhadap kitab Tafsir
al-Kasysyaf, yang masing-masing telah dipaparkan diatas, yaitu menurut Imam
Busykul, Haidar al-Harawi dan Ibnu Kaldun. Di kalangan para ulama, tafsir
al-Kasysyaf sangat terkenal karena kepiawaian al-Zamakhsyari dalam mengungkap
kemukjizatan al-Qur’an, terutama mengenai keindahan balaghahnya.Terlepas dari
semua itu kitab Tafsir al-Kasysyaf
mempunyai daya tarik tersendiri dengan kelebihan dan kekurangan yang
terdapat didalamnya. Oleh karena itu, kitab tafsir al-Kasysyaf mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan kitab tafsir yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Al Munawar Husin Said Agil, 2002, Al-Qur’an Membangun Tradisi
Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press.
Al-Qaththan Syaikh Manna’, 2006,
Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Al-Sibrashi Ahmed, 1962, Qishahat
at-Tafsir,Kairo: Dar al-Qalam.
Az-Zahaby,Tafsirwa al-Mufassirun.
Az-Zamakhsyari, 1972, Al-Kasysyaf an Haqaiq at-Tanzil wa Uyun
al-Aqawil fi Wujub al-Ta’wil, Mesir: Mustofa
al Babi al-Halaby.
Husein az-Zahabi Muhammad, 1976, Tafsir
wa al-Mufassirin, Beirut: Dar al-Fikr.
Qathan Mana’ul, 1995, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2, terj.
Halimuddun, Jakarta : Rineka Cipta.
Qattan Manna’, Mabahists fi Ulum
al-Qur’an.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, 1992, Ensiklopedi Islam
Indonesia, Jakarta: Djembatan.
Yusuf Muhammad, 2004, Studi Kitab Tafsir : Menyuarakan Teks yang
Bisu, Yogyakarta : Penerbit Teras.
[1] Muhammad
Husein az-Zahabi, Tafsir wa al-Mufassirin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1976),
hal 429-430.
[2] Manna’ Qattan,
Mabahists fi Ulum al-Qur’an, hal 388.
[3] Tim Penulis
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:
Djembatan, 1992), hal 1004.
[4] Az-Zahaby, Tafsirwa
al-Mufassirun, hal 431.
[5] Syaikh Manna’
Al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006.
Hlm. 459.
[6] Syaikh Manna’
Al-Qaththan. Ibid. Hlm. 459-460.
[7]
Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf an Haqaiq at-Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujub
al-Ta’wil, (Mesir: Mustofa al Babi al-Halaby, 1972), hal 17-20.
[8] Az-Zahabi, Tafsir
wal Mufassirun, hal 433.
[9] Ahmed
al-Sibrashi, Qishahat at-Tafsir, (Kairo: Dar al-Qalam, 1962), hal 108.
[10]
Az-Zamakhsyari, Ibid, hal 433-435.
[11] Dilihat dari
kitab tafsir Al-Kasysyaf Jilid 2.Hlm
207.
[12] Said Agil
Husin Al Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), hal 107.
[13] Said Agil
Husin Al-Munawar, Ibid, hal 71.
[14] Muhammad
Yusuf, Studi Kitab Tafsir : Menyuarakan Teks yang Bisu, (Yogyakarta :
Penerbit Teras, 2004), hal 51.
[15] Muhammad
Yusuf, Ibid, hal 53.
[16] Dilihat
dalam kitab Al-Kasysyaf.Jilid 1.Hlm 28-29.
[17] Mana’ul
Qathan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2, terj. Halimuddun, (Jakarta : Rineka
Cipta. 1995), hal 209-210.
Komentar
Posting Komentar